Minggu, 07 Oktober 2012

Penguasa yang kolonial....


“Berani...harus berani
Hanya para pemberani yang bisa menguasai seperempat dunia “

Kartini menulis demikian jauh sebelum kaki-kaki kita menginjak-kan buana. Bangsa ini adalah bangsa yang berani. Sayangnya jangankan seperempat dunia. Sepersepuluh pun tak pernah.
Menurutmu , apakah aku pantas berbicara soal bangsa ?
Katakanlah aku tak pantas, begitu pun aku tak akan tersinggung. Sudah seharusnya begitu. Sepanjang sejarah kaum yang memegang pacul adalah kaum – kaum hina, dan terhinakan. Dari kaum itulah aku lahir ke dunia. Kakek-ku, bapak-ku , buyutku semua-nya memegang pacul. Lebih dari itu pacul-lah sarana penghidupan yang ditetapkan Tuhan untuk mereka.

Aku ini mata rantai yang telah mengambil jalan menikung. Sangat jauh dari para pendahuluku. Pacul.... merakitnya pun aku tak bisa rapi. Lempengan besi yang berbentuk persegi itu dengan ukurannya 15 cm x 25 cm, harus dipadukan dengan tangkai-nya yang melengkung. Sudut kemelengkungannya bisa diatur sesuka hati, menurut kenyamanan si pengguna. Sungguh ilmu paling dasar ini pun aku tak ahli.
Apabila aku mencangkul mungkin hanya 5 meter persegi saja, aku sudah megap-megap.

Sekarang ini pacul hanyalah senjata jaman batu. Petani yang hanya bermodalkan pacul saja, akan terlimpas jauh dari perikehidupan. Traktor mengambil alih. Kapital memang kurang ajar, barang siapa tak punya kapital ia akan mati tanpa daya. Menjadi manusia hina.
Kutinggalkan pacul dari hidupku, menjual tenaga pada kekuasaan kapital. Siapa mau hidup miskin ? Menjadi hina sungguh tidak mengenak-kan. Orang pun berbondong bondong berdaya upaya mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. Meski harus membunuh sesama sodara. Dengan kapital orang akan terhormat, dengan kapital orang bisa bersenang-senang. Harga kekuatan kapital tidaklah murah. Kadang kala nyawa sesama sodara harus diikhlaskan. Penindasan sesama sodara terpaksa harus dibolehkan.
John Steinbeck pernah menuliskan : Manusia memang suka memperalat orang lain, demi dirinya sendiri. Manusia memang bajingan.

****
Ilmu pengetahuan … ah sungguh nikmatnya ia. Beruntunglah mereka yang diberi kenikmatan ilmu pengetahuan. Bahkan untuk berada di sini , menjual tenaga sebagai ini. Itu pun perlu meminjam kekuatan ilmu pengetahuan. Tak banyak ilmu pengetahuan yang kumiliki, dahulu aku tak bisa banyak membaca. Buku pun tak ada, hanya buku-buku sekolah yang kunilai sebagai bulu-bulu hias semata. Sangat jauh nilainya dibanding ilmu pengetahuan dunia. Buku-buku di perpustakaan sekolah pun, rasanya kurang memadai. Dahulu daku belum mengenal perpustakaan daerah. Tak ada yang memberitahuku. Lagipula apa itu perpustakaan, apa itu membaca ? Suatu hal yang masih tabu, kosa kata yang tak pernah terpikirkan oleh kaum - kaum pemegang pacul. Terbersit pun mungkin tidak.

Aku bersyukur karena aku bisa membaca dan menulis. Rasa-rasanya begitu manis merasakan sedikit tetesan ilmu pengetahuan di pikiran dan jiwaku. Badanku memang jawa, keturunan para pemegang pacul. Fisik-ku tak sekuat leluhurku. Pacul sudah kutinggalkan dari kehidupanku. Hanya tinggal pikiran ini, yang tak kuijinkan seperti para pendahulu-ku, ia haruslah mengecap kuatnya ilmu pengetahuan. Dengan sedikit kenikmatan ilmu pengetahuan itu. Aku memberanikan diri, kukira aku cukup pantas untuk berbicara soal bangsa. Meski kuakui perkataan itu tak kuketahui dengan pasti maknanya. Dan ceritaku itu kira-kira begini :

Majapahit merupakan kejayaan nusantara sepanjang masa. Tak luput lagi, hanya karena para pemberani yang mau mengarungi lautan. Majapahitlah yang sempat menguasai daratan dan lautan hampir sampai di selatan india. Sayup-sayup terdengar sebuah lagu:
“Nenek moyangku seorang pelaut …
Gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak , tiada takut
menempuh badai sudah biasa.”
Di masa kecilku lagu itu bergema dimana-mana. Tumasik (*sekarang Malaka) menjadi bandar dagang yang ramai. Itulah masa kejayaan bangsa ini. Bangsa yang dikenal juga sebagai negri bahari.

Dari sisa – sisa terakhir kekuasaan majapahit lahirlah Demak. Awal masanya banyak bermunculan para pemberani. Atas sebuah perjanjian Tordesilas yang diusung Paus. Portugis pun berlayar hendak mencaplok nusantara. Seperti kuman protozoa yang tak kenal kenyang, yang terus mencari inang untuk dihisap. Demak sebagai satu-satunya pewaris Majapahit terkuat. Terketuk hatinya, seandainya laut nusantara jatuh ke tangan Portugis, Islam akan remuk, rakyat akan lumpuh. Portugis ... inilah dia si musuh Islam, musuh si rakyat. Demi membela Islam, membela rakyat, demi membela kehormatan diri sebagai seorang muslim, demi membela sodara-sodaranya sendiri. Berangkatlah Adipati Unus berlayar ke Malaka. Atas restu Raden Patah sang raja Demak.
Dua armada pun berseteru … Pati Unus kalah, pulang dengan membawa luka di sekujur tubuhnya. Ia pun akhirnya meninggal di Demak. Setelah sempat dinobatkan menjadi raja.

Di masa yang kuceritakan itu babad tanah jawa belum lagi mencapai klimaksnya. Mataram belumlah lahir. Nusantara masih berisi para pemberani yang bermartabat. Sejarah berubah seiring dengan pergerakan roda sang kala.
Trenggono sebagai raja Demak yang baru, tak mau melihat Portugis sebagai musuh yang nyata. Ia bersandar pada kekalahan kakaknya sendiri. Kecil kemungkinan untuk bisa mengalahkan Portugis dengan meriam-meriam mereka itu. Memang Adipati Unus kalah melawan Portugis. Tapi dia telah berani melawan itulah pokoknya. Suatu sikap ksatria yang memang layak disematkan kehormatan untuknya.Tidak selamanya perlawanan itu harus menang. Tak semua kekalahan itu memalukan.
Daripada melawan Portugis dengan kekuatan meriam-nya yang menggetarkan itu. Trenggono lebih tertarik meluaskan wilayahnya di daratan, melawan sodaranya sendiri. Ia tak peduli lagi dengan lautan. Darat, hanya darat saja yang ada di pikiran Trenggono. Bila Portugis tak bisa dilawan di laut, akan dihadapi di darat. Untuk itu armada darat terkuat harus dibentuk. Begitulah jalan pikiran Trenggono.
Trenggono sibuk dengan pikirannya sendiri, demi menjadi penguasa tunggal pulau jawa, menjadi pemilik armada darat terkuat.

Meski masih ada Untung Surapati. Bila dihitung orang seperti dia di tanah jawa hanya seperti buih. Amangkurat misalnya pewaris tahta mataram. Saat Trunojoyo memberontak, bahkan ia malah meminta bantuan pada Belanda. Kemudian apa ? Setelah tak punya kekuatan lagi. Ia pun menjual haknya sebagai raja. Dan mengorbankan seluruh rakyat. Upeti yang tadinya harus diserahkan pada raja. Menjadi hak Belanda untuk menerimanya dalam bentuk pajak. Berdiri-lah pemerintahan hindia belanda di nusantara.
Demikianlah pemimpin-pemimpin di tanah jawa. Diserahkan semuanya asal dia bisa hidup enak. Demi kesenangan dirinya sendiri, menjajah sesama sodara adalah hal yang legal. Semuanya boleh dikorbankan. Rakyat itu hanyalah mereka yang harus merangkak-rangkak di depan kakinya. Nyawa mereka tiada berharga, buat apa dipikirkan kesejahteraannya.

Coba bayangkan raja mana yang tak punya Istana ? Alas tidur pun ia tak punya. Tidur di atas pelepah daun kurma. Saat berkunjung di provinsi-provinsi, ia dijamu dengan makanan yang enak-enak. Dia kemudian berkata :
“Apa makanan ini yang dimakan oleh rakyat ? “
'Tentu saja bukan, ya amirul mukminin, kami ingin menghormati anda...'
“Kalau begitu singkirkan makanan ini, beri aku makan seperti apa yang dimakan rakyat oleh rakyatmu”
“Ketahuilah adalah aku sejelek – jelek pemimpin, jika kubairkan rakyatku menderita sedang aku berlimpahan kenikmatan”.
(*Bidayah wan nihayah : Ibnu Katsir)

Itu adalah sebuah tolok ukur. Dengan itu semua bisa menilai. Apakah mereka mempunyai pimpinan yang baik, ataukah sejelek-jelek pimpinan.
Penting diketahui bahwa segala yang kolonial adalah Iblis, satu hal saja yang harus kau lakukan bila kau mengetahui ini yaitu *JANGAN PERNAH BERSEKUTU*.


Senin, 08 Oktober 2012
GSI, Blok B. 13 No. 3
Si'Mon Dinomo