Jumat, 22 Februari 2013

Rasa-rasanya dewi Sri telah mati di desaku...


Tungku itu menyala dengan api-nya yang besar-besar. Asapnya tebal membuat perih mata. Dinding-dinding ruangan itu, sudah hitam diterpa asap setiap hari. Ia pun masih sibuk seorang diri, melakukan semuanya sendiri. Beberapa tungku menyala dengan bersamaan, menandakan hari ini ada hajat yang tak biasa. Suatu moment yang istimewa.
Bola-bola nasi pun dibuat dengan jumlahnya yang tak sedikit. Kau tahu, seperti dalam cerita doraemon itu nasi dikepal-kepal dijadikan bola. Yang biasa untuk pergi piknik atau berkemah ala film doraemon. Telur turut direbus bersama sayuran-sayuran beraneka ragamnya. Tak lupa lauk kebanggaan masyarakat sejak dulu yaitu ikan asin.
Sore harinya wanita itu menggendongnya ke sawah, arak-arakan anak-anak membuntutinya dari belakang. Rembulan tak nampak waktu itu, hanya cahaya kunang-kunang saja yang beterbangan ke sana kemari. Tepat di tengah-tengah ladang padi, ditancapkanlah obor yang terang benderang. Pedupaan dinyalakan sambil kemudian dibacakanlah mantra-mantra yang mungkin diajarkan secara turun menurun.

Setelah itu bekal pun dibongkar, dibagi-bagikan pada semua anak-anak yang tadi membuntutinya. Makan malam yang tidak biasa, hidangan istimewa, kelezatan khas citra rasa desa. Dalam suasana gembira dimakannya bungkusan itu ramai-ramai. Begitulah kondisi ketika padi menguning menjelang panen. Seorang anak kecil berjalan di belakang ibunya, kira-kira umurnya masih 5 tahun. Di tangannya ia membawa cerek (*tempat minum desa). Di dalamnya masih ada sisa air teh meski tak terlalu banyak. Untuk ukuran anak kecil itu nampaknya masih terlalu berat, itu terlihat dari caranya membawa.
“Mak... mak... kenapa sawah harus dikasih makan ?”
Anak itu bertanya pada ibunya. Suatu ritual yang baru kali ini disadari olehnya sejak ia dilahirkan di dunia. Sang ibu menjelaskan bahwa semua itu adalah suatu yang harus dilakukan sebelum panen tiba. Sesuatu yang juga sudah turun menurun diajarkan, yang harus dilaksanakan tanpa pertanyaan mengapa. Apa yang diajarkan oleh nenek moyang itu juga yang harus dilakukan. Kata mereka yang sudah turun menurun tanpa pernah ditulis dalam suatu kitab pun, semua itu adalah sebagai salah bentuk rasa syukur pada dewi Sri. Dewi kesuburan yang telah memberikan hasil panen yang melimpah.

Roda sang waktu terus berputar, generasi demi generasi bermunculan. Anak kecil yang tadinya bertanya pada ibunya itu pun kini sudah jadi ibu. Beberapa jenjang bangku sekolah dilaluinya, maklum saja dia adalah putri salah seorang petinggi desa. Sawah orang tuanya banyaknya tak kira-kira. Ia pun belajar jauh di atas teman-temannya. Beberapa kali masa panen sudah berlalu, ia masih ingat pada tradisi rasa syukur pada dewi Sri. Tapi kini semakin sedikit masyarakat yang ingat pada sang Dewi. Ia pun tak pernah melakukannya lagi.
Seiring kebermunculan jaman baru, lahan-lahan persawahan termusnahkan, ditanami batu. Di bangun rumah permukiman yang sudah tak lagi menghasilkan panen. Semakin sedikit pula dewi Sri akan diberi makan. Lambat laut dewi Sri tak lagi ada di pikiran, mungkin juga kini dia telah mati.

Dewi Sri telah mati, dia memang layak mati. Persaingan itu tak hanya pada setiap perlombaan. Soal sesembahan itu juga akan terjadi persaingan yang abadi selama-lamanya. Tuhan-tuhan yang lama telah berganti Tuhan yang baru. Di dunia ada begitu banyak tuhan, dari sekian banyak itu hanya satu Tuhan yang berhak untuk dijadikan sesembahan. Masing-masing Tuhan punya pengikutnya.
Entah sampai kapan, pengikutmu mampu bertahan wahai sang Dewi.
Silahkan kau lihat sendiri wahai dewi , tanyalah pada internet.... tanyalah pada kemajuan-kemajuan dunia mereka-lah yang telah membunuhmu.
Uang atau kapital dijadikan Tuhan baru, yang kekuasaannya lebih besar daripadamu. Karena dia juga mungkin kau tersingkirkan dari dirituali orang.
Zaman ini sudah bukan tempatnya lagi bagimu, wahai sang dewi... maka beristirahatlah dengan tenang di pemakaman para tuhan, makamnya para sesembahan.
Ketahuilah olehmu.... bukan aku yang membuatmu ada, juga bukan aku yang telah membunuhmu, malah aku tak pernah mempercayai keberadaanmu. Karena itu aku pun tak pernah melanjutkan apa yang dulu dilakukan oleh ibuku, sesuatu yang pernah aku tanyakan kepadanya.
Aku sudah punya Tuhan yang abadi, Dialah Tuhan yang tak akan pernah mati. Dilah Tuhan yang tak akan pernah berganti. Aku sudah rela untuk bersaksi bahwa Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. 


Sabtu, 23 February 2013
Prambanan, Klaten, Jawa Tengah
Sihmanto bin Tukiman bin Pairo Dinomo
(Si'Mon Dinomo)