Senin, 01 Juni 2015

Seperti Ernest Hermingway ke-1

Sesuatu yang baru perlu untuk dicoba. Kadang kala dalam proses mencoba itu, uang akan sirna, lain waktu diri jadi tertawa, ada kalanya sakit tak terkira, tak jarang pula berakhir bahagia. Hanya mereka yang berani mencoba yang tahu rasanya.
Demikian itu kemudian muncul kosa kata kegagalan dalam benak insan insan di atas dunia.
Coba kutanya kau ?
Ya… engkau yang kumaksud yang jarimu mengetuk ketuk keyboard ini. Berapa kali kau berani mencoba ? Berapa harta sudah sirna ? Berapa sakit yang kau terima ? Pernahkah berujung bahagia ?
Semua itu sebernya tinggal bagaimana jiwa mencerna.

** ** **
Orang mengagumi Ernest Hermingway. Aku heran apa yang orang kagumi dari Ernest Hermingway ? John Steinbeck pada beberapa karyanya pikiranku bisa merasakan unsur unsur keindahan.
Sedang Ernest Hermingway pikiranku hanya menemui suatu kebosanan.
Entah berapa lama aku berpikir soal ini.
Ada orang dalam satu buku dia hanya menceritakan satu tokoh bersama ikan yang ia pancing. Satu buku… !

Dia bisa menciptakan sebuah buku hanya dari satu plot saja.
Bila aku coba menulis seperti gaya Ernest Hermingway, beginilah jadinya :

Aku sedang mengetik, pintu kamar terbuka. Di depanku ada meja. Di atasnya ada dompet, uang , buku-buku kecil, kertas-kertas, hardisk external, parfum, power bank. Kabel charger melilit tertindih satu lembar uang 5 real. Meja itu sesekali kutarik maju – mundur agar punggungku tidak pegel.
Ini dompet sudah lusuh, umurnya bisa kau hitung sendiri. Sudah sejak 2006, aku dan teman temanku sendiri yang menyamaknya. Dompet ini dari kulit asli, hasil samakan kami. Tapi aku tak ikut membuat sampai selesai, hanya sampai proses menyamaknya saja. Selebihnya teman-temanku yang mengerjakan.
Eh…ngomong – ngomong dimana teman-temanku itu sekarang ?
Yang satu aku tahu, dia ada di Abu Dhabi. Ya.. aku ikut senang karenanya. Lalu yang satunya lagi, dimana dia sekarang ? Sudah menikah apa belum, sudah punya anak apa belum ? Aku tidak tahu.

** ** **
Waktu itu kami ketemu dengan anak anak UNPAD dan juga UNSRI. Mungkin sudah punya anak semua mereka. Dan mungkin juga sudah lupa kepadaku.
Itulah tentang dompetku ini yang sudah lusuh dengan warna birunya. Yang berwarna biru ini kami samak dari kulit ikan pari, sedang bagian dalamnya adalah asli dari kulit kambing.
Waktu itu, aku dibimbing oleh seorang instruktur yang bernama pak Heri. Pembantunya ada tiga, dua laki – laki dan satu perempuan. Yang laki – laki satunya gemuk dan satunya lagi kurus. Yang perempuan dia seneng bercerita tentang anaknya yang kuliah di UNSOED. Anak lelaki kesayangannya yang katanya dia tak mau kalau dikirimi uang lagi, dia sudah punya uang dari hasil menjual gorengan. Benar tidaknya aku tak tahu. Hanya dia sudah sering menceritakannya. Dan enaknya aku pun percaya saja. Pak Heri orangnya sangat baik, pembantunya yang gemuk juga baik. Sedang yang kurus, aku tak menyukainya. Dia terlalu … emm apalah aku tak bisa menuliskannya untukmu, tapi hatiku tidak suka, dan pikiranku membenarkan ketidak sukaanku itu. Maka aku ceritakan padamu aku tidak suka, aku nilai dia bukan orang baik, seperti pak Heri dan pembantunya yang gemuk.
Mengingatkanku pada icon amtenaar sejak zaman belanda sifatnya begitu-begitu juga. Tidak semua memang tapi kebanyakan. Apalah harus kunamai.
Bangsatttt …. !!!
Terlalu kejam kunamai dia sepertinya, tapi kurasa memang itu istilah yang pantas.
Hah… memang lega setelah memaki orang. Mengutuk ngutuk orang dibelakang punggungnya memang nikmat. Kurang ajar, setan mana yang menjadikan manusia suka melakukan ini ? Dunia ini terlalu banyak setan.

** ** **

Bagaimana apa kau sudah merasa bosan  ? Sekarang aku sudah mengantuk ,besok saja aku lanjutkan tulisanku.

Jubail, Saudi Arabia
Senin, 01 juni 2015

Si’Mon Dinomo


Senin, 16 Maret 2015

Tamis

Warung itu di pinggir jalan raya. Bilamana petang datang mobil mobil macet di depannya. Tapi ini bukan petang , ini baru pagi yang mulai menjulang. Matari sepenggalah, bayang bayang belumlah terlampau panjangnya. Orang – orang berkerumun di depan kasir. Semuanya memesan dengan tiada sabarnya saling bersahut-sahutan.
Kira-kira sepuluh menit yang lalu aku pun ikut ngantri bersama mereka. Sekarang aku sudah duduk di meja menunggu pesananku di hidangkan. Pesananku tak beda dengan apa yang orang-orang pesan. Selempeng tamis dan telur diorek orek.

Tami itu berbentuk bulat, agak lebih tebal dari roti kubus. Dalam kondisi hangat terasa empuk dan agak lembut. Alot banget ketika sudah dingin. Terbuat dari apa aku tidak mengerti. Maksudku semua orang tahu terbuat dari tepung, melainkan tepung apa disinilah letak ketidakmengertianku.
Segelas cangkir kertas menemaniku, di Indonesia cangkir begini hanya disajikan oleh pramugrari garuda di dalam pesawat. Jarang aku temui di warung – warung atau dipakai dalam keseharian.  Cangkirku itu berisi chai halib (teh yang dicampur dengan susu). Perpaduan sempurna dalam memakan tamis.

Waktu berlalu, meja yang tadi kosong terisi oleh pelanggan lain. Yang tadi dipakai oleh x berganti bapak r. Aku masih di mejaku, memandang tamisku yang sudah termakan setengah, menikmati kelezatan di pagi hari.
Perut yang lapar pun telah terisi. Kemudian satu yang terpikir olehku.

Apa yang dimakan istriku sekarang ?



Jubail, Saudi Arabia
16 March 2015


Si Mon Dinomo