Senin, 16 Maret 2015

Tamis

Warung itu di pinggir jalan raya. Bilamana petang datang mobil mobil macet di depannya. Tapi ini bukan petang , ini baru pagi yang mulai menjulang. Matari sepenggalah, bayang bayang belumlah terlampau panjangnya. Orang – orang berkerumun di depan kasir. Semuanya memesan dengan tiada sabarnya saling bersahut-sahutan.
Kira-kira sepuluh menit yang lalu aku pun ikut ngantri bersama mereka. Sekarang aku sudah duduk di meja menunggu pesananku di hidangkan. Pesananku tak beda dengan apa yang orang-orang pesan. Selempeng tamis dan telur diorek orek.

Tami itu berbentuk bulat, agak lebih tebal dari roti kubus. Dalam kondisi hangat terasa empuk dan agak lembut. Alot banget ketika sudah dingin. Terbuat dari apa aku tidak mengerti. Maksudku semua orang tahu terbuat dari tepung, melainkan tepung apa disinilah letak ketidakmengertianku.
Segelas cangkir kertas menemaniku, di Indonesia cangkir begini hanya disajikan oleh pramugrari garuda di dalam pesawat. Jarang aku temui di warung – warung atau dipakai dalam keseharian.  Cangkirku itu berisi chai halib (teh yang dicampur dengan susu). Perpaduan sempurna dalam memakan tamis.

Waktu berlalu, meja yang tadi kosong terisi oleh pelanggan lain. Yang tadi dipakai oleh x berganti bapak r. Aku masih di mejaku, memandang tamisku yang sudah termakan setengah, menikmati kelezatan di pagi hari.
Perut yang lapar pun telah terisi. Kemudian satu yang terpikir olehku.

Apa yang dimakan istriku sekarang ?



Jubail, Saudi Arabia
16 March 2015


Si Mon Dinomo