Minggu, 24 November 2013

Mbah buyut-ku ...


Sekarang ubuntu di komputerku ini sudah mencapai versi 13.10. Enam bulan kedepan akan mencapai versinya yang baru 14.04. Suatu ketika hardware komputerku ini tak akan mampu lagi untuk dipasangi ubuntu yang terus menerus baru, menuntut spesifikasi yang lebih tinggi.
System baru dimunculkan, spesifikasi baru dibutuhkan, hardware lama ditinggalkan. Sama sekali tidak diproduksi lagi.
Kalau dipikir-pikir buat apa harus begitu ? Ini soal pasar, mereka yang berkecimpung dalam dunia ini tak akan kehabisan pasar.
Biar saja begitu, aku hanya ingin menempati lahan terpencil di belahan bumi ini. Mengurus lahan bersama bapak-ku.
** ** **
Dengan komputer yang aku sebutkan itu aku menuliskan ini.
Seorang anak kecil berjalan dengan jalannya yang belum kokoh. Umurnya kira-kira 2,5 tahun. Kalau ngomong “R” saja masih terdengar “L”.
“Mak... mak... mbah uyut nendi ? “
Begitu katanya pada ibuku.
Dia itu tak lain adalah keponakanku sendiri. Anaknya dari anaknya budhe-ku dari pihak ibu.

Kuberi tahu kau, ada sesuatu yang mengusik pikirku. Yaitu soal mbah buyut itu. Karena aku sendiri tak pernah bertemu mbah buyut saya. Seperti apa orangnya saya tak tahu. Saya hanya tahu dari ceritera. Tentu saja ibu-ku yang banyak bercerita. Bila kuingat-ingat hanya sedikit saja cerita yang aku dapatkan soal mbah buyutku.
Mbah buyut saya pandai mijet, banyak orang datang pada mbah buyut saya itu.
Ya begitulah aku tak banyak tahu soal mbah buyutku sendiri. Sedang keponakan itu masih diberi kesempatan bertemu dengan mbah buyutnya meski hanya sebentar. Mungkin bila sudah besar nanti dia juga tak ingat lagi pada mbah buyutnya yang ia temui di umurnya yang baru 2,5 tahun itu.
Maka tentu saja dia juga hanya akan mendenger tentang mata rantai nasabnya terdahulu dari ceritera. Atau malah aku yang akan menceritakan kepadanya, soal mbah buyutnya, yang tak lain adalah nenek-ku sendiri.

Begitulah perikehidupan.
Nah nikmat menjumpai mbah buyut kukira hanya untuk orang-orang terdahulu. Lagi-lagi ini menurut cerita, dan dari beberapa sumber yang aku baca misalnya. Perawan terdahulu oleh orang tuanya, kebanyakan dinikahkan secara dini. Tak lebih dari 20 tahun mereka sudah bersuami. Atau malah kurang dari itu. Sekarang seiring dengan suatu hal yang orang namai sebagai peradaban. Seolah – olah menjadi suatu aib bila seorang gadis menikah di umur itu.
Ini sudah menjadi permasalahan sosial yang berurat akar. Aku tak mau membahas itu, aku hanya hendak menganalisis soal mbah buyut.
Seperti yang aku bacai soal Anneleis, kira-kira sewaktu menikah umurnya baru 16 tahun, sedang ibunya baru sekitar 30 tahun. Cerita ini sekitar tahun 1910.
Atau bila engkau bacai tentang Kartini, ini masih di era yang sama.

Mbah buyut … ya... ya...ya... mata rantai nasab yang orang harus juga kenal.

“Ya Alloh dengan pengetahuanMu tentang yang ghaib dan kekuasaanMu atas segala makhluk, hidupkan aku jika Engkau mengetahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkan aku jika mati itu lebih baik bagiku”.


Senin, 21 Oktober 2013
Jubail, Saudi Arabia
Abu Ibrahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar