Sabtu, 06 Agustus 2011

Dari Ken Dedes sampai Roro Mendut

"Sebenarnya apakah cantik itu mbakyu ? "
Adik-ku semua wanita mengidamkan sebuah kecantikan pada dirinya, tapi bukankah karena kecantikan itu yang membuat kita hidup serasa dipenjara begini ?
Oh...mbakyu buat apalah kecantikan jika hidup kita begini rupa.

****
Dada yang membusung, yang oleh para pengarang dianalogikan bagai gunung kembar yang terselimuti kabut tebal, hidung yang bangir, kulit yang kuning langsat, bibir yang tipis yang pandai berbisik, rambut yang panjang tergerai, tubuh yang semampai yang tersusun dari tulang-tulang yang begitu pas dipadu dengan balutan daging yang tepat pula.
Sudahkah itu mengejawantahkan sebuah kecantikan ?
Penulis punya penilaiannya sendiri (An Nisa : 34)
****
Kutulis ini dalam suasana hati yang berkabung, yang si hati tak juga tahu mengapa ia harus berkabung. Dasar si hati... ! Menurut cerita Ken Dedes itu cantik, nah pada kurun waktu berikutnya orang juga mengatakan bahwa Roro Mendut juga cantik mempesona.
Mereka - mereka itu menjelma menjadi sosok imajiner dalam alam pikirku. Apa kecantikan itu terlalu berharga buat manusia ? Baik laki-laki maupun dai pihak wanita ?
Jadi mungkin juga aku termasuk dalam kategori pengagum kecantikan.

Masa depan adalah sebuah misteri, dan setiap misteri biasanya selalu menggelitik.
Carilah yang sepadan. Roro Mendut memberontak dalam kemewahan puri Wiragunan. Alam kemewahan bukanlah dunia bagi si cantik Roro Mendut.
Sedang tuan putri - tuan putri kebanyakan juga cantik-cantik, tapi mungkin tak seperti Roro Mendut.
Mereka mungkin akan pingsan dalam kesederhanaan.
Lantas apa yang pantas diimajinerkan oleh seorang yang mungkin dipandang sebagai seorang sudra ?
Carilah yang sepadan .... !!!!!!!!!

*****

Minggu, 07 Agustus 2011
Serdang, Serang, Banten
Sihmanto

Selasa, 02 Agustus 2011

Pokoknya...

Bila anak kecil sudah menjejag-jegag-kan kakinya, merengek-rengek, sambil mata berkaca-kaca mau menangis seolah - olah jadi senjata ampuh untuk melunak-kan hati bapak ibunya demi terpenuhi keinginannya. Sambil kemudian berkata : "Pokoknya .... pokoknya ... pokoknya..."
Ini berarti aku harus belalar mulai dari sekarang barang kali kelak jika aku punya anak, pun juga akan menggunakan senjata yang sama.
"Lha kalo sudah pokoknya... " gimana musti dihadapi coba.

Tidak sepantasnya kata-kata begitu kok sampe keluar dari seorang terpelajar dalam sebuah diskusi. Alasan itu harus logis dan tentu saja berdasar. Sangat "ora elok" apa ya... didengar pun kok rasanya agak janggal, jika sampai turut berkata "Pokoknya ya begini...."
Nah lho kok pokoknya lagi.

Tapi justru terkadang, aku sendiri juga mengatakan hal yang sama. Saat pikiran sudah mentok, demi mempertahankan sebuah argumentasi, nah ya itu tadi kalo sudah mentok...tok...tok. Akhirnya juga mengeluarkan jurus yang sama.
"Wes pokoknya begitu-lah".

Kan iya pokoknya lagi. Ya ndak bisa gitu, harus belajar untuk mengemuka-kan dasar, tidak hanya asal. Kan katanya terpelajar.
"Pokoknya.... pokoknya... pokoknya...!"
"Emmmm.... apa itu  ? "

****

Serdang, Serang , Banten
Rabu, 03 Agustus 2011
Bintang kelana

Terkadang kebenaran itu tak seperti yang kau lihat....

 Dulu, yang mana aku sudah lupa tanggal dan bulannya. Pernah aku berkata kepadamu seperti judul tulisan ini. Entah apa definisi di pikirmu kala itu.
Sekarang mari aku ceritai apa maksud pernyataanku itu. Ini penting, jika tiada penting bagimu rasanya sangat penting bagiku. Aku yang harus terus menderita dalam penjajahan perasaanku sendiri. Penderitaan yang sayangnya tak kau ketahui.

Tentang perasaanku bukankah dahulu telah aku nyatakan kepadamu ?
Saat aku lihat kau menangis, kau saksikan aku tak berbuat suatu apa. Kau tak tahu isi hatiku yang sebenarnya jauh lebih menangis lagi.
Saat kau ucapkan selamat ulang tahun kepadaku, kau ketahui aku seoalah - olah menampik maksud baikmu.
Saat berulang kali aku kau hubungi, kau saksikan seolah olah aku tak peduli.

Dalam banyak hal kita mungkin berbeda termasuk dalam memahami kosa kata cinta. Bagi-ku dengan diamku itu, bagiku dengan ketidak pedulianku yang seolah-olah, yang nampak olehmu itu ... itulah yang kusebut cinta. Sedang bagimu mungkin punya definisi yang lain. Setahuku itulah yang akan memuliakanmu nantinya.
Benar tidaknya akan kau tahu sendiri saat sang waktu menelan umurmu, kelak kau akan mengetahuinya. Jika kau tanya aku, aku pun tiada tahu akan tetapi aku berusaha untuk **YAKIN**. Sedang ulang tahun, adalah lebih baik jika seorang muslim tiada meniru-niru tentang itu. Tasyabuh itu namanya.

Tentang Anneleis aku ceritakan kepadamu, kau tahu mengapa karena kau punya kedudukan tersendiri di hatiku. Saat aku kunjungi kampung halaman kusempatkan untuk melihatmu. Pernahkah kau saksikan kita bertemu hanya berdua saja ? Namun kau tak bisa membaca sasmita hatiku.

Saya akui dalam banyak hal ada pertimbangan yang salah telah kulakukan. Aku mohon maaf kepadamu. Jika seorang hamba berbuat salah itu adalah wajar. Jika kau menghendaki seorang yang tanpa kesalahan, silahkan kau naik ke langit ...karena tak akan kau temui di bumi ini. Hingga kini karena sifat inco (inferior kompleks-ku) aku selalu dibayang-bayangi rasa bersalah terhadapmu. Aku tak bisa begitu. Kenapa harus aku salahkan diriku sendiri terus-terusan. Ini yang tak bisa aku biarkan. Maka dengan begitu aku tulis ...entah tulisan macam apa ini. Tapi tetap tulisan ini aku namai prosa.

Kuyakin-kan diriku.... keputusanku tiada salah... ! Jika ada yang melukaimu maafkanlah.
Demikian itulah yang aku maksudkan ***TERKADANG KEBENARAN ITU TAK SEPERTI YANG KAU LIHAT.... ****

*****

Serdang, Serang, Banten
Selasa, 02 Agustus 2011
Sihmanto