Rabu, 08 Februari 2012

Sejuta kepalsuan ... yang menjemukan


Sebagai Chairil yang menuliskan tentang Sri Ayati, atau Suman HS dengan Nurhaida , Si pada dengan Sabarini ... semua-nya kudapati tentang hal yang sama. Entah mengapa, fase kehidupan itu tak bisa tidak terbersit dalam hati manusia. Anneleis-ku itu juga masuk dalam area imaginer ... kau tahu segala yang imajiner tentu saja tak bisa daku gambarkan secara pasti. Juga ia mewakili sejuta sosok, yang tentu saja pernah terekam dalam memory kehidupanku yang masih seumur jagung.

Bukan berarti itu sebuah pelarian. Sama sekali bukan, lebih tepatnya adalah sebuah pilihan. Kepalsuan itu memang menjemukan, akan tetapi bagaimana jika kau tidak bisa berlepas diri dari hal yang menjemukan itu ? Turut dalam kepalsuan itu mengingkari hati nurani namanya. Dan di dunia ini sungguh dipenuhi oleh kepalsuan, yang entah sekian ratus juta jumlahnya tak dapatlah kuterangkan secara rinci kepadamu.

Misalnya saja, tentang gula. Teh akan makin enak jika ditambah gula, gula itu menjadikan teh terasa manis. Tak hanya teh, kopi, sirup, dan sekian banyak jenis es-es yang kita temui itu enaknya ya karena gula. Tahun 1900-an dibuatlah pabrik gula di bumi hindia ini. Zaman dulu ranah jawa ini masih bernama Hindia.
Gula menjadi barang dagangan yang tak akan kehabisan konsumen. Tentu saja menjanjikan kekayaan yang sudah jelas terpampang di depan mata.
Sekolah belumlah sebagai sekarang ini di jaman dahulu, coba bandingkan ... mereka bisa membangun pabrik dengan mesin-mesin yang automatic sedang bangsa ini belum mengenal sekolah yang memadai. Ah itu bukan topik yang hendak daku tuliskan. Baiknya kita lewati saja.

Sekolah pun dibangun ... sekian banyak cerdik pandai mulai bermunculan. Jabatan pun digenggamlah oleh si cerdik pandai itu. Mungkin jabatan itu memang menarik hati manusia, sejak dahulu selalu diperebutkan saja. Mmmm ... ya... ya... sewajarnyalah manusia berlaku begitu.
Waktu terus berjalan, rebutan jabatan itu seolah menjadi misi harian yang menjadikan hidup bergairah. Kan demi kebahagia-an, demi anak isteri. Jika ditanya tentang tujuan hidup, sangat mungkin sekali ... itulah yang menjadi tujuan kehidupannya. Mimpi demi mimpi .... yang mimpi-mimpi itu tiada pernah ada watasnya. Begitu terus sampai tak terasa sekian puluh tahun sudah terlampaui. Sampailah pada suatu fase dimana kekuatan pengetahuan menjadi hampa, sama hampanya setumpuk harta yang menjadikan manusia dihormati sesamanya itu. Semuanya hampa.

Di lain pihak ... di bawah sana, mereka yang tak diizinkan untuk menikmati hebatnya kekuatan ilmu pengetahuan. Merekalah yang harus berpanas-panas di ladang tebu, padahal ladangnya sendiri ... tapi di paksa kerja seolah hewan saja. Dengan penghasilannya yang cukuplah baginya untuk merasai apa itu kesederhanaan, apa itu hidup pas-pasan. Tak banyak hati yang mampu menanggungkan yang demikian itu, lalu gelaplah si mata ... dan kejadian-kejadiannya tak jauh berbeda dengan apa yang kau dapati sekarang ini.

Sekarang pun tiada berbeda ... semuanya hanya-lah kepalsuan. Tapi mengapa tak berani juga aku memilih untuk sebuah kebebasan ? Aku tak mampu berlepas diri dari kungkungan alam keseakanan ini. Akan tetapi hidup itu harus berimbang. Perilaku yang sudah sejak nenek moyang kita lakukan, juga sampelah kita menurutkan hal yang sama. Berlumuran kesenang-senangan dalam dunia yang palsu ini.

Ada kalanya kita tapaki jalan-jalan sempit hutan-hutan di gunung itu. Bukan untuk sekedar melepas lelah, bukan sekedar mencari pemandangan indah. Yang demikian itu hanyalah tujuan yang kesekian kalinya. Terlebih yang utama adalah karena disana adalah wujud i'dad, persiapan jika ada panggilan yang menyusahkan jiwa dan raga. Kita pun siap untuk memenuhi seruan itu.
Percaya-lah kesenangan dunia yang palsu itu sungguh sangat melalaikan.

GSI, Blok B 5, No. 10
Kamis, 09 Februari 2012
Sihmanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar