Minggu, 30 Oktober 2011

pengkhianat.....


Kalau tidak salah … seperti tertuduhkan kepada daku bahwasanya daku itu seorang pengkhianat. Wah kok rasanya tidak adil sekali.
Mau kau kuceritai sesuatu ?

****

Negri Jepang takluk di bawah kaki si Nobunaga. Di samping karena dia memang orang yang lihai juga karena kesetiaan jendral-jendralnya. Akechi Mitsuhide juga sangat setia, rela mengorbankan jiwa untuk kemenangan si Nobunaga. Tapi tak dinyana-nyana justeru Mitsuhide itu yang membunuh Nobunaga. Elho lha apa ini yang nama-nya bukan pengkhianatan ?
Mungkin memang benar Mitsuhide pengkhianat... tapi apa langsung demikian kita beri kartu vonis ? Lha kok tidak diteliti terlebih dahulu apa sebabnya Mitsuhide berkhianat baru dibuatlah suatu simpulan ….

Ada lagi ceritera … kali ini dari negeri sendiri. Perlawanan Diponegoro membuat Belanda pontang panting, hampir 25 tahun Belanda dengan ilmu pengetahuan, dengan meriam-meriamnya baru bisa menunduk-kan di Diponegoro. Lha kalau bukan karena karamah, apa lagi ini coba ? Dibuatlah sebuah pengkhianatan hingga Diponegoro pun kalah.

Nah terus ganti lagi sekarang … tentang perang Aceh itu. Waduh saking uletnya...sampe-sampe tentara dari jawa dikirimi ke sana. Tapi si Belanda itu masih kewalahan juga. Lha apa ini bukan karamah lagi namanya ? Aceh lho … yang katanya masih inlander, tanpa meriam, hanya dengan rencongnya. Bisa mengalahkan Belanda. Apa ndak hebat coba ?

Nah terus dikirimlah si Snouck Hurgronce. Nah apa bukan pengkhianat itu namanya si Hurgronce itu ?
Bagaimana tentang si pitung ? Sultan Hasanudin di sulawesi... karena pengkhianatan-lah mereka sampai kalah.

****

Pada mereka yang pernah merasa saya khianati, Adalah anda telah berlaku adil, jika sebab-sebabnya anda tanyakan dulu, atau anda cari tahu. Inilah daku yang mungkin tidak bisa berlepas diri dari sifat khianat itu sepenuhnya. Walau si hati dan si diri membecinya. Tapi hati ini bukan daku yang menggenggam. Si hati ini terus menerus berbolak-balik.
Nilai-lah daku semau2x-mu. Suatu saat di suatu waktu akan kau dapati pula siapa pengkhianat yang sesungguhnya. Semoga kita ini dijauhkan dari khianat itu.

****

Minggu, 30 Oktober 2011


Kamis, 13 Oktober 2011

catatan kelabu hati yang pilu-3

-->
Tak yakin-kah kau dengan pertolongan Tuhanmu ?

“Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku, dan Alloh sajalah yang dimohon pertolonganNya....(Yusuf : 18)”

…....
Itu saja ….
menulis itu punya tanggung jawab moral … itu yang aku takutkan diriku tak mampu mengekang dalam menuliskan kelanjutannya.

****

“Jangan kau pegang pacul nak... kau harus jadi priyayi”
Setiap kali kata itu akan terdengar jika hendak digenggamnya pacul untuk turut membantu bapaknya. Yang mengucapkan kata larangan itu tak lain adalah bapaknya sendiri. Ia hanya bisa menurut. Walau dirasainya dunia priyayi bukanlah dunia-nya, justru dunia petani inilah yang begitu nyaman dihatinya.
Tapi apa daya … ia turuti juga atas nama bakti pada ayahandanya.

****
Seperti Raden Mas Tirto yang bersurat menyurat dengan sahabatnya Herbet De La Croix, atau Kartini terhadap Tuan Abendendon. Daku juga ingin mengirimkan banyak hal pada ibundaku.... :

'Bunda.... diri ini bunda, serasa masih seperti anak kecil saja.
Si hati ini bunda dia ingin mencerca segala yang menyakitinya, dia ingin mengutuk siapa yang mengkhianatinya. Sedang diri ini tertatih – tatih melawannya.
Dari jama'ah mana antum ? Terus terang saja kebanyakan akhwat itu merasa risi bila harus berkenalan dengan ikhwan yang lain jama'ah.
Dagelan....
tak salah lagi, bumi manusia ini seperti panggung dagelan saja.
Mungkin disinilah letak ujian itu.


Minggu, 09 Oktober 2011

catatan kelabu hati yang pilu-2


Megatruh...
Megat itu artinya adalah perpisahan. Ruh adalah nyawa. Maka megatruh adalah perpisahan dengan nyawa. Demikianlah nenek moyang telah membuat tembang-tembang untuk sebuah perpisahan.

Kawan mari aku ceritai sesuatu :
Dahulu sekali di pulau jawa ini... hiduplah seorang pemuda, yang disayang oleh ayahnya juga oleh ayah angkatnya. Dibesarkan ia oleh si ayah angkat sampai jadilah ia pemuda gagah, idaman setiap wanita. Dengan pengetahuan di atas rata-rata tentu saja.
Kemudian ia kobarkan peperangan pada ayah angkatnya sendiri. Ayah angkat yang telah membesarkannya. Alasannya ? Adalah sebuah kata-kata indah.... sayangnya penuh rekayasa. Hanya kebohongan belaka...rekayasa.
Hiduplah si pemuda dalam kebesaran yang gilang gemilang. Siapa tak suka pada kekuasaan, siapa tak suka bila punya kekuatan, siapa tak suka bila menjadi raja , siapa tak suka jika dihormati, siapa tak suka hidup mewah, siapa tak suka bergelimang harta. Sewajarnyalah manusia itu suka.
Adakah yang salah jika si pemuda itu juga suka ? Kan tidak ada.
Dari matanya , gerak-geriknya, tingkah dan polahnya akan kau lihat betapa besar ambisinya.

Ia punya menantu, penguasa daerah perdikan tak jauh dari tempatnya berkuasa. Mungkin karena ambisinya yang menggebu seolah tak rela ia ditandingi dalam hal kekuatan dan kekuasaan meski oleh menantunya sendiri. Meski hanya daerah perdikan kecil.
Akhirnya dibunuhlah si menantu, bukan dalam peperangan melainkan saat si menantu menghaturkan sungkem sembah baktinya selaku...suami anak perempuannya.
Dan kau tahu alasannya.... sebuah kata-kata indah...sayangnya penuh kebohongan, penuh rekayasa.

Di jaman ini kulihat, kudengar, juga kubacai... mata yang sama dengan mata si pemuda... penuh ambisi. Dengan slogan-slogan yang indah juga...semboyan-semboyan yang memikat.

Tapi maaf...atas nama pengalaman... atas nama data-data historic... haruskah aku mempercayai sesuatu yang diawali dengan rekayasa , ketersembunyian serta kebohongan. ?

Setiap orang punya pengalaman historicnya masing-masing. Aku , kau, mereka ditempa oleh pengalaman historic itu menjadi pribadi yang berlainan. Kau berhak mengambil sikap... juga aku berhak.


****
Senin, dini hari 00.53
10 Oktober 2011
Serdang, Serang, Banten
Sihmanto

catatan kelabu hati yang pilu-1

-->
-->
Asmaradahana....
Pemuda mana yang tak kenal akan asmara, pemudi mana yang tak tersapa oleh asmara. Katanya dilanda asmara itu sakit rasanya. Dikatakan sakit tapi ya bukan penyakit. Ya itulah penyakit asmara, itulah penyakit cinta. Tak hanya pemuda pemudi sekarang yang merasa demikian bahkan nenek moyang dulu pun merasai.
Bila hati dilanda api asmara nenek moyang dulu menembang, ya tembang Asmaradahana itulah.

Mari aku ceritai apa yang dituliskan oleh mbah kunto pada sebuah “goro-goro pewayangan”, kira – kira tak kutipkan jadi begini ini :

Cangik:
Mbuk, aku Cangik ibumu. Bangun, Nduk, bangun.
Mbuk, bangun! Ini masih ngambek atau memang tidur, ya?
Eh, aku tahu kau tidak tidur.
Kalau masih ngambek mbok ya bilang-bilang, jadi aku tahu.

Limbuk:
(Dari rumah/kamar sebelah terdengar tawa. Orangnya gemuk, suaranya besar). Ngambek kok
disuruh bilang, Biyung itu aneh. Lagi pula soal ngambek? Sudah lupa, tu.

Cangik:
Lupa ya boleh, asal tidak lupa sama Mas Petruk, calon misoa-mu, eh, suamimu.

Limbuk:
Biyung ini bagaimana, to. Aku pengin dipersunting Mas Gatotkaca, kok mau dijodohkan dengan
Mas Petruk?

Cangik:
Lha kalau yang melamarmu hanya Den Baguse Petruk,apa ya tidak diberikan?

Limbuk:
Dia ya lumayan, Yung. Bisa untuk memedi sawah [menakut-nakuti burung di sawah].

Cangik:
Jangan dilihat rupanya, to Nduk cah ayu, yang penting kerjanya.

Limbuk:
Ah, jangan saru, to.

Cangik:
Saru bagaimana. Lihat misalnya cangkul. Cangkul itu bentuknya ya mesti melengkung begitu,
supaya bisa nyangkul dalam-dalam. Seperti kata nyanyian, 'cangkul-cangkul yang dalam'.

Limbuk:
Ayo, Biyung kok mulai miring-miring. Yang ngajari siapa? Apa Pak Dalang Tegalpandan?

Cangik:
Lho, kok ngerti kalau miring-miring? Ahlinya, ya?

Limbuk:
Ah, bicara yang lain saja. Kan banyak yang perlu dibicarakan. Misalnya, Yung, tanyakan Mas
Petruk sungguh-sungguh, Limbuk kan tidak ting-ting lagi, nanti dia menyesal.

Cangik:
Aku sudah bilang sama Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah
pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk.

Limbuk:
Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk?
Cangik:
Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orangtua, tapi orangtua menurut anak.

Limbuk:
Aku konservatif kok, Yung.

Cangik: Artinya?

Limbuk:
Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk ya mau, Mas Gatotkaca ya mangga.

Cangik:
Mas Gatotkaca itu sudah tunangan dengan Jeng Pregiwa-Pregiwati, kau Mas Petruk saja, ya
Nduk. Bilang 'ya' gitu, biar hatiku puas.

Limbuk:
Bagaimana lagi, kan aku sudah tua.

Cangik:
Muda kinyis-kinyis begitu kok bilang tua. Umurmu berapa, Nduk? Kalau tujuh belas boleh?

Limbuk:
Ya, tambah, kok. Masak cuma tujuh belas? Ya, ndak boleh, kulaknya saja tidak segitu.

Cangik:
Kalau tiga puluh bagaimana?

Limbuk: Ya turun sedikit, to.

Cangik: Pasnya saja berapa?

Limbuk: Pasnya, mm, dua tiga.

Cangik:
Itu namanya sudah klop, Nduk. Mas Petruk dua enam.

Limbuk:
Umur tak jadi soal, asal tok-cer.

Cangik:
Ditanggung tok-cer, Nduk. Dibuktikan apa?

Limbuk: Ih, benci aku.

Cangik:
Ingat, "gething nyanding", benci malah dekat, lho.
Eh, Nduk. Omong-omong ingin punya anak berapa?

Limbuk:
Maunya ya empat; dua laki-laki, dua perempuan. Kalau Mas Petruk maunya berapa, Yung.

Cangik:
Mas Petruk itu maunya kayak slogan BKKBN: dua cukup.
Laki perempuan sama saja.

Limbuk:
Jalan tengahnya ya tiga.

Cangik:
Tiga? Mas Petruk pasti setuju, Nduk.

Limbuk:
Tapi, Yung. Mas Petruk itu Enggak lucu. Dinanti-nanti Limbuk kok tidak ada katanya, tidak
melamar atau bagaimana begitu.

Cangik:
Kan sudah lewat aku?
Limbuk: Itu saja tidak cukup.
Cangik:
Ya, katanya mau bilang langsung takut ditolak.

Limbuk:
Ditolak bagaimana, malah dinanti-nanti.

Cangik:
Ya, to? Memang Mas Petruk itu kurang tanggap sasmita. Ya maklum saja, itu bawaan bayi.

Limbuk:
Sebenarnya sejak dulu, sejak kulihat Mas Petruk aku sudah anu, kok.

Cangik: Anu itu artinya apa?

Limbuk:
Anu itu yang bikin dag-dig-dug, tratapan, deg-deg pyur itu, lho.

Cangik:
Ehm, ehm. Jangan bilang gitu. Nanti Mas Petruk besar kepala.

Limbuk:
Aku jujur saja kok, Yung.

Cangik:
Menurut kata orang, mantenan itu satu-dua jam cukup.

Limbuk:
Lha, Biyung nyrempet-nyrempet lagi, ya.

Cangik:
Kesrempet saja kepenak, apa itu, Nduk?

Limbuk:
Ah, Mas Petruk, eh Biyung, itu kok mesti begitu,lho! Benci, aku.

Cangik: Gemes, aku!

Limbuk:
Gemes ya Gemes, tapi jangan sekarang.

Cangik:
Besok saja, ya. Besok, mau ya?

Limbuk:
Ya, mau saja. Kalau terpaksa. Kalau dipaksa.

Cangik: Maunya dipaksa, ya?

Limbuk:
Terpaksa, dipaksa, memaksa, ah mana saja, asal enak.

Cangik: Enak atau kepenak?

Limbuk:
Biyung itu jangan mengarah ke sana saja, to. Badanku jadi panas-dingin, lho.

Cangik:
Itu artinya kamu sudah kemecer, Nduk.

Limbuk:
Dibilang apa saja ya terserah. Wong nyatanya memang demikian.  Eh, Biyung. Tolong bilang
sama Mas Petruk. Aku tak mau dimadu.

Cangik:
Yang mau beristri dua itu siapa? Mas Petruk itu, katanya, 'Kalau dapat Jeng Limbuk ibarat
makan pasti sepiring sajatidak habis'. Masak dia mau dua piring

Cangik:
Kalau sudah kawin, pindah mau atau tidak?
Limbuk: Ya, manut Mas Petruk.

Cangik:
Mas Petruk ada rencana pindah ke …. Mau, ya Nduk.

Limbuk: Ya mau saja.

Katanya lagi : “Perempuan itu memang lain, apa yang disentuhnya menjadi lebih bercahaya lantai, dipan, piring, pakaian, segalanya-lah.”
Mungkin ada benarnya juga, rumah ini tak kulihat bercahaya sedikitpun, mungkin ya karena tidak ada perempuannya.... ^_^
Aku hanya bisa mesam-mesem membacai-nya. Orang kok pinternya kayak begitu, tulisannya begitu hidup serta faktualnya itu lho. Hmmmm ….gemes aku jadinya.
Terhempaslah aku seperti nenek moyang yang menembang “AsmaraDahana”. Terjerembab dalam sebuah misteri, bila kau tahu misteri itu senantiasa menggelitik.
Untuknya yang dalam misteri itu bisa aku berkata-kata :
“Dewiku.... kekasihku.... pujaan hatiku.... kakang pulang !”
Pintu pun terbuka …..

******
Senin, Pagi hari 06.03
10 Oktober 2011
Serdang , Serang, Banten
Sihmanto