Minggu, 09 Oktober 2011

catatan kelabu hati yang pilu-1

-->
-->
Asmaradahana....
Pemuda mana yang tak kenal akan asmara, pemudi mana yang tak tersapa oleh asmara. Katanya dilanda asmara itu sakit rasanya. Dikatakan sakit tapi ya bukan penyakit. Ya itulah penyakit asmara, itulah penyakit cinta. Tak hanya pemuda pemudi sekarang yang merasa demikian bahkan nenek moyang dulu pun merasai.
Bila hati dilanda api asmara nenek moyang dulu menembang, ya tembang Asmaradahana itulah.

Mari aku ceritai apa yang dituliskan oleh mbah kunto pada sebuah “goro-goro pewayangan”, kira – kira tak kutipkan jadi begini ini :

Cangik:
Mbuk, aku Cangik ibumu. Bangun, Nduk, bangun.
Mbuk, bangun! Ini masih ngambek atau memang tidur, ya?
Eh, aku tahu kau tidak tidur.
Kalau masih ngambek mbok ya bilang-bilang, jadi aku tahu.

Limbuk:
(Dari rumah/kamar sebelah terdengar tawa. Orangnya gemuk, suaranya besar). Ngambek kok
disuruh bilang, Biyung itu aneh. Lagi pula soal ngambek? Sudah lupa, tu.

Cangik:
Lupa ya boleh, asal tidak lupa sama Mas Petruk, calon misoa-mu, eh, suamimu.

Limbuk:
Biyung ini bagaimana, to. Aku pengin dipersunting Mas Gatotkaca, kok mau dijodohkan dengan
Mas Petruk?

Cangik:
Lha kalau yang melamarmu hanya Den Baguse Petruk,apa ya tidak diberikan?

Limbuk:
Dia ya lumayan, Yung. Bisa untuk memedi sawah [menakut-nakuti burung di sawah].

Cangik:
Jangan dilihat rupanya, to Nduk cah ayu, yang penting kerjanya.

Limbuk:
Ah, jangan saru, to.

Cangik:
Saru bagaimana. Lihat misalnya cangkul. Cangkul itu bentuknya ya mesti melengkung begitu,
supaya bisa nyangkul dalam-dalam. Seperti kata nyanyian, 'cangkul-cangkul yang dalam'.

Limbuk:
Ayo, Biyung kok mulai miring-miring. Yang ngajari siapa? Apa Pak Dalang Tegalpandan?

Cangik:
Lho, kok ngerti kalau miring-miring? Ahlinya, ya?

Limbuk:
Ah, bicara yang lain saja. Kan banyak yang perlu dibicarakan. Misalnya, Yung, tanyakan Mas
Petruk sungguh-sungguh, Limbuk kan tidak ting-ting lagi, nanti dia menyesal.

Cangik:
Aku sudah bilang sama Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah
pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk.

Limbuk:
Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk?
Cangik:
Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orangtua, tapi orangtua menurut anak.

Limbuk:
Aku konservatif kok, Yung.

Cangik: Artinya?

Limbuk:
Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk ya mau, Mas Gatotkaca ya mangga.

Cangik:
Mas Gatotkaca itu sudah tunangan dengan Jeng Pregiwa-Pregiwati, kau Mas Petruk saja, ya
Nduk. Bilang 'ya' gitu, biar hatiku puas.

Limbuk:
Bagaimana lagi, kan aku sudah tua.

Cangik:
Muda kinyis-kinyis begitu kok bilang tua. Umurmu berapa, Nduk? Kalau tujuh belas boleh?

Limbuk:
Ya, tambah, kok. Masak cuma tujuh belas? Ya, ndak boleh, kulaknya saja tidak segitu.

Cangik:
Kalau tiga puluh bagaimana?

Limbuk: Ya turun sedikit, to.

Cangik: Pasnya saja berapa?

Limbuk: Pasnya, mm, dua tiga.

Cangik:
Itu namanya sudah klop, Nduk. Mas Petruk dua enam.

Limbuk:
Umur tak jadi soal, asal tok-cer.

Cangik:
Ditanggung tok-cer, Nduk. Dibuktikan apa?

Limbuk: Ih, benci aku.

Cangik:
Ingat, "gething nyanding", benci malah dekat, lho.
Eh, Nduk. Omong-omong ingin punya anak berapa?

Limbuk:
Maunya ya empat; dua laki-laki, dua perempuan. Kalau Mas Petruk maunya berapa, Yung.

Cangik:
Mas Petruk itu maunya kayak slogan BKKBN: dua cukup.
Laki perempuan sama saja.

Limbuk:
Jalan tengahnya ya tiga.

Cangik:
Tiga? Mas Petruk pasti setuju, Nduk.

Limbuk:
Tapi, Yung. Mas Petruk itu Enggak lucu. Dinanti-nanti Limbuk kok tidak ada katanya, tidak
melamar atau bagaimana begitu.

Cangik:
Kan sudah lewat aku?
Limbuk: Itu saja tidak cukup.
Cangik:
Ya, katanya mau bilang langsung takut ditolak.

Limbuk:
Ditolak bagaimana, malah dinanti-nanti.

Cangik:
Ya, to? Memang Mas Petruk itu kurang tanggap sasmita. Ya maklum saja, itu bawaan bayi.

Limbuk:
Sebenarnya sejak dulu, sejak kulihat Mas Petruk aku sudah anu, kok.

Cangik: Anu itu artinya apa?

Limbuk:
Anu itu yang bikin dag-dig-dug, tratapan, deg-deg pyur itu, lho.

Cangik:
Ehm, ehm. Jangan bilang gitu. Nanti Mas Petruk besar kepala.

Limbuk:
Aku jujur saja kok, Yung.

Cangik:
Menurut kata orang, mantenan itu satu-dua jam cukup.

Limbuk:
Lha, Biyung nyrempet-nyrempet lagi, ya.

Cangik:
Kesrempet saja kepenak, apa itu, Nduk?

Limbuk:
Ah, Mas Petruk, eh Biyung, itu kok mesti begitu,lho! Benci, aku.

Cangik: Gemes, aku!

Limbuk:
Gemes ya Gemes, tapi jangan sekarang.

Cangik:
Besok saja, ya. Besok, mau ya?

Limbuk:
Ya, mau saja. Kalau terpaksa. Kalau dipaksa.

Cangik: Maunya dipaksa, ya?

Limbuk:
Terpaksa, dipaksa, memaksa, ah mana saja, asal enak.

Cangik: Enak atau kepenak?

Limbuk:
Biyung itu jangan mengarah ke sana saja, to. Badanku jadi panas-dingin, lho.

Cangik:
Itu artinya kamu sudah kemecer, Nduk.

Limbuk:
Dibilang apa saja ya terserah. Wong nyatanya memang demikian.  Eh, Biyung. Tolong bilang
sama Mas Petruk. Aku tak mau dimadu.

Cangik:
Yang mau beristri dua itu siapa? Mas Petruk itu, katanya, 'Kalau dapat Jeng Limbuk ibarat
makan pasti sepiring sajatidak habis'. Masak dia mau dua piring

Cangik:
Kalau sudah kawin, pindah mau atau tidak?
Limbuk: Ya, manut Mas Petruk.

Cangik:
Mas Petruk ada rencana pindah ke …. Mau, ya Nduk.

Limbuk: Ya mau saja.

Katanya lagi : “Perempuan itu memang lain, apa yang disentuhnya menjadi lebih bercahaya lantai, dipan, piring, pakaian, segalanya-lah.”
Mungkin ada benarnya juga, rumah ini tak kulihat bercahaya sedikitpun, mungkin ya karena tidak ada perempuannya.... ^_^
Aku hanya bisa mesam-mesem membacai-nya. Orang kok pinternya kayak begitu, tulisannya begitu hidup serta faktualnya itu lho. Hmmmm ….gemes aku jadinya.
Terhempaslah aku seperti nenek moyang yang menembang “AsmaraDahana”. Terjerembab dalam sebuah misteri, bila kau tahu misteri itu senantiasa menggelitik.
Untuknya yang dalam misteri itu bisa aku berkata-kata :
“Dewiku.... kekasihku.... pujaan hatiku.... kakang pulang !”
Pintu pun terbuka …..

******
Senin, Pagi hari 06.03
10 Oktober 2011
Serdang , Serang, Banten
Sihmanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar