Rabu, 01 Agustus 2012

Menanti sebuah ...T-H-R


Ramadhan pun tiba-lah. Semarak sekali masjid-masjid ibarat festival saja. Maka bulan Ramadhan menjadi bulan yang istimewa baik secara makna maupun suasana. Kok ya tidak terasa dua belas kali gajian sudah berlalu. Ramadhan tahun lalu pun sekarang sudah berganti ramadhan yang baru. Di ramadhan baru banyak juga hal-hal yang baru. Ada yang punya istri baru, ada yang punya rumah baru, ada yang punya jabatan baru, ada yang punya sekolah baru.
Sewaktu mendekati jam-jam pulang, sekarang ini hampir semua brother-ku sibuk sendiri memegang game board di tangan. Bukan game board main balok-balok tetris itu. Itu sudah sangat katrok sekali. Ini game board paling mutakhir berteknologi android. Yang kalau buat main game suaranya sudah tidak lagi...”Tat...tit...tut...lagi...” ning sudah berganti ..'tolat...tolet...' merdu sekali. Sudah seperti musik instrumental-nya si kitaro.
Bentuknya sudah macem-macem, ada yang kotak agak gedhe. Terus bisa dibesar kecilkan pakai telunjuk dan ibujari. Ada juga yang lebih kecil. Ning semua-nya kok ya kompakan pakai android lho. Jadi kalo sudah berkumpul begitu, menjadi pating cruet mengobrolkan soal keanekaragaman android.
Kalau tahun lalu masih pakai game “MUGEN” yang disebut juga “munyuk gendheng', mereka semua sudah pada nrimo. Haning sekarang, sudah tak ada lagi yang menyentuh game mugen itu. Jangan kok menyentuh membahasnya saja sudah sory. Ha ini kan juga sudah suatu bentuk perubahan tho ? Perubahan sik positif begitu kok. Opo ora hebat ?
…..
Rupanya bulan itu tahu-tahu sudah mau bulet saja. Kalau dihitung-hitung sudah menjelang pertengahan bulan ramadhan. Berarti sebentar lagi ada THR. Suatu kata sakti yang membahagia-kan kami sekeluarga. Ingat apa tadi nama-nya ...T-H-R.
Tidak semua orang lho bisa mendapat THR itu. Kalau dipikir-pikir bekerja di PT. “T” itu kurang hebat apa coba. Gaji-nya sudah semi mahal. Pensiunan disediakan. Mau minta obat ke klinik, tinggal tanda tangan saja. Cuma mau ukur tinggi badan, tensi, temperatur diri. Tinggal datang ke klinik, ukur sendiri juga boleh. Photocopy tinggal pencet. Kesehatan di jamin 100 juta per tahun, terus kalo istri mau melahirkan pun pabrik juga ikut membantu. Belum lagi buku catatan, bolpoint itu pun boleh minta kalau tidak malu. Rak sudah seperti kehidupan para priyayi tho ?
Hawong bagaimana coba, tidak usah susah – susah pergi ke pasar berangkat jam 03.00, yang duinginnya clekit-clekit di kulit. Pun tak harus ke sawah memanggul cangkul berangkat jam 05.00. Cuma tinggal hitung hari saja, nanti THR pun akan diberikan.
Opo ora hebat ? Rak sudah seperti priyai kecil tho ?
….
Saya sering kali ditanya-i sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan priayi itu ? Kamus besar bahasa indonesia balai pustaka menerangkan priayi itu adalah orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, misal golongan pegawai negri.
Dengan perkataan lain priayi adalah orang yang mengerjakan tugas-tugas yang lebih tinggi nilainya dan bukan priayi adalah golongan pekerja, seperti petani atau buruh, pedagang, dll.
Wes biar ces pleng sekalian, sekarang sudah jelas tho...
…..
Ada banyak hal yang menarik yang bisa kita pethik dari perikehidupan priayi sejak nenek moyang kita dahulu. Mari saya cerita-i :
Katanya , ini hanya katanya lho. Kan orang terpelajar itu harus adil, harus bisa menimbang mana yang faktual, mana yang desas-desus. Dan ini bersumber dari katanya :
Bagi seorang priayi harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, tapi jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya juga kehormatan, kebenaran, harga diri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk ditebus kembali.
Masihkah contoh dibutuhkan, mari saya beri beberapa. Ini juga katanya, kalau saya tentu saja tak bisa menganalisis sampai seperti ini, tapi jujur saya hanya bisa mengangguk-angguk saja. Untuk kemudian mencoba lebih mengerti.
Dalam pewayangan ada tiga cerita utama, yaitu Arjunososrobahu dan sumantri, lalu Ramayana, dan Mahabarata. Di dalam periode pertama. Ki Dalang akan mengisahkan dalam sebuah lakon “ Sumantri Ngenger”. Yang mengisahkan cita-cita seorang pemuda desa untuk menghambakan diri di ibu kota dan mendapatkan tempat yang baik di situ, walaupun harus mengorbankan adiknya sendiri. Adiknya dibunuh demi jabatan. Wayang adalah suatu keteladanan nenek moyang kita. Bila pada prakteknya banyak yang meniru cerita-cerita wayang. Ha rak itu wajar saja tho.
Nun jauh di kota Surabaya dahulu ada seorang juru tulis pabrik gula bernama Sastrotomo, walaupun kedudukannya sudah cukup tinggi dan terhormat ia masih mengidamkan kedudukan sebagai jurubayar yang mengurus keuangan pabrik. Untuk memenuhi ambisinya itu dia sanggup menawarkan wanita kepada Tuan Besar pemilik pabrik, tetapi ditolak. Kemudian putrinya sendiri ditawarkan dan dijual untuk mendapatkan jabatan sebagai jurubayar tadi. Semua itu terjadi karena warisan budaya nenek moyang , yaitu sikap priyayi yang lebih mementingkan jabatan daripada harga diri, dll.
….
Sudah-lah sampai di situ saja. Saya tidak mau banyak bercerita tentang priyayi lagi. Wong tadi di awal saya nilai bahwa kami sekeluarga itu termasuk para priayi kecil je, kok saya sendiri terus menceritakan priayi itu sikapnya kayak begitu. Tapi itu kan dulu. Nek sekarang masih ada itu kan karena didikan nenek moyang, mungkin kita juga akan begitu juga kalau punya jabatan wong kita didikan oleh nenek moyang yang sama. Ning rak priyai sekarang sudah ndak begitu, sudah humanis semua. Nah ini juga cuma katanya. Mengenai fakta kan bisa dilihat sendiri.
Elho … kok soal priayi lagi, ah benci aku. Kita kembali ke T-H-R.
….
Ini ramadhan baru, semaraknya baru, semoga perubahan yang baik juga bisa segera kita lakukan. Untuk suatu perubahan itu T-H-R kami tunggu, tunggu.
Suatu sore setelah selesai mengerjakan tugas membantu brother-ku di lantai 4, saya duduk ke arah matahari tenggelam. Duduk-nya kok agak khidmat sekali.
“Brother suro, kamu sedang apa kok malah seperti melamun saja ?”
'Nganu brother....saya sedang menunggu'
“Eh...menunggu opo brother, wong di atas sudah tidak ada orang. Wong tadi cuma kita berdua, ini saya sudah sampai lantai 4 ini lho, gek mau nunggu siapa lagi”.
'Itu brother … satu haru hampir berlalu, T-H-R semakian dekat. Saya menunggu kedatangan T-H-R'.
“Gek mau buat apa tho brother ? “
'Buat sarana perubahan yang positif brother'.
“Opo kui brother ? “
'Ilmu baru, pengetahuan baru, atau mungkin istri baru …. insyaalloh'.
“Wah elok tenan.... hebat brother. Yowis ayo saya temani … menunggu T-H-R.”


Rabu, 01 Agustus 2012
GSI Blok B.5, No. 10
Surapati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar